Dilansir iNewsKutaraja.id - Provinsi Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah provinsi yang dijuluki sebagai kota Serambi Makkah (Sueramo Mekkah) yang melaksanakan Hukum Islam serta menjunjung tinggi norma agama dan syari'at serta tuntutan masyarakat aceh yang menjunjung tinggi ajaran Islam.
Kemudian dalam pelaksanaannya diatur ke dalam Qanun-qanun yang berisi tentang aturan kehidupan masyarakat Aceh yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.
Namun bagaiman jika Aceh saat ini sudah tak lagi menjunjung tinggi norma adab di tempat umum. Maraknya penggunaan celana pendek saat ini menjadi polemik di masyarakat dan pandangan wisatawan diaceh yang memberikan cerminan negatif tentang Aceh Serambi Mekkah yang lebih populer dengan keagamaannya. Kini kaum Lelaki dewasa di kalangan muslim yang mengenakan celana pendek ketika beraktivitas di ruang publik semakin mudah ditemui di berbagai daerah di Aceh.
Tanpa merasa malu mereka datang ke warkop, dan pusat keramaian lainnya. Hal tersebut telah menyita perhatian sejumlah pihak yang memberikan perhatian terhadap syiar Islam di serambi Mekkah.
Beberapa waktu lalu Ustad Asrul Masrul Aidi di linimasa Facebook-nya juga sempat menyentil secara halus tentang laki-laki dewasa (baligh) yang menyeruput kopi di warkop didekat sebuah masjid, dengan hanya memakai baju kaos lengan panjang dan celana pendek di atas lulut.
Sentilan-sentilan yang sama juga kerap dilontarkan oleh beberapa orang yang memperhatikan perkembangan penegakan syariat Islam di Aceh. Mereka menyayangkan perilaku tersebut, sekaligus mempertanyakan kemana saja polisi syariat (wilayatul hisbah) yang pernah dibentuk oleh Pemerintah Aceh. Celana pendek di atas lutut yang biasanya dipakai oleh anak-anak belum khitan, kini marak lagi dikenakan oleh pria yang sudah masuk kategori baligh di dalam Islam.
Orang-orang baligh yang memakai celana pendek di atas lutut di Aceh seharusnya ditegur. Karena dapat diperkirakan bahwa tidak ada lagi sensor di rumah mereka. Di sini dibutuhkan kehadiran pemerintah, memberikan teguran, dan bila perlu sanksi, karena bila diabaikan, pemegang otoritas juga bertanggung jawab menjaga norma dan etika dalam bernegara.
"Di Aceh yang telah ditetapkan sebagai daerah pelaksanaan syariat Islam, telah membuat aturan tentang tata cara berpakaian secara islami. Bila ada yang tidak patuh, maka harus diberikan teguran. Tidak boleh dibiarkan,” kata Muslim, seorang warga Banda Aceh.
Karena pengaturan cara berpakaian merupakan salah satu otoritas Dinas Syariat Islam, maka dinas tersebut harus kembali pro aktif di lapangan, mensosialisasikan qanun yang telah ada, yaitu Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang aqidah, Ibadah & Syiar Islam.
Editor : Khairol Azmi.AR
Artikel Terkait