
Oleh : Shafira Qathrunnnada
Pernahkah kamu berjalan-jalan di sudut kota Banda Aceh dan memperhatikan bangunan tua yang seolah diam, tapi menyimpan begitu banyak cerita? Dindingnya mungkin mulai retak, catnya mengelupas, dan jendelanya berdebu. Tapi kalau kita mau diam sebentar, melihat lebih dekat, bangunan-bangunan itu seperti menyapa: “Aku pernah jadi bagian dari sejarah kota ini.” Di tengah gegap gempita pembangunan dan modernisasi, jejak-jejak arsitektur kolonial di Banda Aceh kadang terasa seperti bisikan lirih - nyaris tak terdengar, tapi sebenarnya merindukan untuk kembali menjadi bagian dari kehidupan kota. Inilah momen ketika konsep adaptive reuse datang membawa harapan: bukan merobohkan masa lalu, tapi mengajaknya bicara, lalu menghidupkannya kembali dalam peran yang baru.
Warisan Lama, Harapan Baru
Banda Aceh punya banyak cerita dari masa lalu. Salah satunya terekam jelas lewat bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang masih berdiri di beberapa sudut kota. Meski banyak yang tampak usang dan nyaris terlupakan, bangunan ini menyimpan nilai sejarah, arsitektur, dan identitas kota yang nggak bisa digantikan.
Dulu, banyak dari bangunan ini dianggap usang dan akhirnya digantikan dengan
gedung baru. Tapi sekarang mulai muncul semangat baru: alih-alih merobohkan, orang-orang justru memilih untuk menghidupkan kembali bangunan tua itu dengan pendekatan yang disebut adaptive reuse yaitu mengubah fungsi bangunan lama agar bisa digunakan lagi tanpa menghilangkan ciri khasnya.
Adaptive Reuse Itu Apa Sih?
Bukan sekadar renovasi biasa, adaptive reuse adalah cara untuk memberikan "hidup kedua" bagi bangunan tua. Bayangkan sebuah rumah kolonial tua yang kosong dan tak terurus, lalu dijadikan kafe, galeri, atau ruang komunitas, tapi tetap mempertahankan atap limasan, jendela lebar, atau lantai tegel antiknya. Inilah esensi dari adaptive reuse : melestarikan, tapi juga memodernkan. Banyak kota besar di dunia sudah menerapkannya sebagai bagian dari pelestarian budaya yang ramah lingkungan. Banda Aceh punya banyak potensi untuk menerapkan konsep ini. Bukan cuma karena warisan bangunannya, tapi juga karena komunitas kreatif yang mulai melihat nilai di balik
tembok-tembok tua itu.
Contoh Nyata: Taman Sari 36 Coffee
Kalau kamu pernah ke Banda Aceh, mungkin tahu tempat ini. Taman Sari 36 Coffee dulunya rumah tua peninggalan Belanda. Lama terbengkalai, apalagi setelah tsunami. Tapi sekarang, rumah ini hidup lagi sebagai kafe yang hits. Struktur bangunan aslinya tetap dipertahankan : jendela besar dari kayu, lantai tegel klasik, dan atap khas kolonial.
Tapi bukan cuma soal desain. Tempat ini jadi ruang hidup baru untuk ngopi santai,
ngobrol soal ide kreatif, bahkan jadi spot foto yang keren. Suasana klasiknya bikin
banyak orang merasa dekat dengan masa lalu, tapi dengan cara yang fun dan kekinian.

Sumber: Instagram @tamansari36
Contoh lainnya adalah Soba Café. Terletak di rumah kolonial yang dulunya
terbengkalai juga, kini tempat ini disulap jadi ruang cozy yang disukai anak muda.
Desainnya memadukan furnitur modern dengan nuansa vintage. Lantainya yang
mengilap, teras luas, dan jendela besar jadi ciri khas yang dipertahankan. Banyak
pengunjung datang bukan cuma buat makan atau minum, tapi buat menikmati cerita yang dibawa bangunan ini.
instagram soba @soba.housespace
Estetika yang Bertahan Lewat Zaman
Bangunan kolonial punya karakter yang khas. Tinggi langit-langitnya bikin sirkulasi
udara bagus, jendelanya lebar, dan dindingnya tebal. Cocok banget untuk iklim tropis kayak di Aceh. Di saat bangunan modern kadang terasa "dingin" dan seragam, bangunan tua justru punya kehangatan dan keunikan yang sulit ditiru. Konsep adaptive reuse bikin kita bisa tetap menikmati estetika ini, sambil memberi makna baru yang lebih relevan dan fungsional.
Instagram: @soba.housespace
Lebih dari Sekadar Bangunan : Dampak Sosialnya Nyata
Adaptive reuse juga punya sisi sosial yang penting. Bangunan seperti T36 dan Soba
kini bukan cuma tempat nongkrong. Mereka jadi titik kumpul komunitas. Ada yang buat diskusi sastra, pameran seni, atau sekadar bertemu teman. Ini menunjukkan bahwa pelestarian bisa jadi hal yang inklusif, bukan eksklusif. Siapa pun bisa terlibat, selama ada ruang yang terbuka.
Peluang Besar di Dunia Pariwisata
Semakin banyak wisatawan yang tertarik sama pengalaman otentik. Mereka ingin
makan di restoran heritage, atau jalan-jalan ke galeri seni yang dulunya rumah kolonial. Banda Aceh punya peluang besar di sini. Dengan warisan sejarahnya, kota ini bisa jadi destinasi yang menawarkan pengalaman beda. Tapi ini butuh dukungan bukan cuma dari pelaku usaha, tapi juga dari pemerintah dan masyarakat.
Contohnya bisa kita lihat dalam kasus World of Heritage Lijiang, China. Sebuah kota di dataran tinggi yang menawarkan pesona sejarah dan budaya yang kaya. Kota ini dan pernah mengalami bencana gempa bumi yang menyebabkan kerusakan parah pada banyak bangunan. Karena hal tersebut, pemerintah sangat peduli untuk merekonstruksi dan merestorasi bangunan di kota Lijiang. Mereka memegang prinsip “mempertahankan penampilan asli dan memulihkan karakteristiknya”. Sehingga,
Lijiang menjadi salah satu pariwisata yang terkenal di China dengan jumlah wisatawan mencapai 336.375 juta pada tahun 2022.
Masih Banyak Potensi yang Belum Tergarap
Ada banyak kawasan lain di Banda Aceh yang menyimpan bangunan Belanda:
Peunayong, Kuta Alam, Kampung Baru, sampai Neusu. Sayangnya, banyak yang
dibiarkan kosong atau malah dihancurkan. Padahal, bangunan-bangunan itu bisa jadi
ruang kreatif: studio seni, perpustakaan, co-working space, bahkan tempat makan khas Aceh yang dikemas dengan nuansa heritage. Ini soal keberanian melihat potensi dan punya visi jangka panjang.
Pemerintah: Jangan Hanya Jadi Penonton
Pemerintah Kota Banda Aceh sebenarnya punya peran besar di sini. Mulai dari mendata bangunan kolonial yang masih ada, menetapkan zona pelestarian, sampai memberi insentif buat pemilik yang mau merenovasi dengan pendekatan adaptive reuse. Kolaborasi dengan kampus, komunitas, dan pelaku usaha juga penting supaya program
ini nggak jalan sendiri-sendiri. Kita butuh regulasi yang nggak cuma ada di atas kertas, tapi bisa dirasakan dampaknya.
Masyarakat Juga Punya Peran
Pelestarian bukan tugas pemerintah saja. Kesadaran masyarakat harus dibangun. Lewat edukasi, kegiatan komunitas, atau sekadar kunjungan ke tempat heritage. Ketika orang merasa terhubung dengan warisan budayanya, mereka akan lebih peduli dan terlibat. Bayangkan kalau sekolah-sekolah ngajak murid-muridnya untuk belajar sejarah lewat kunjungan ke rumah kolonial yang sudah diubah jadi ruang kreatif. Edukasi nggak
harus selalu di kelas.
Adaptive Reuse: Masa Depan yang Berakar
Intinya, adaptive reuse bukan soal mempertahankan bentuk lama demi nostalgia. Ini tentang membangun masa depan yang nggak melupakan akar. Di tengah dunia yang serba cepat dan global, kota-kota seperti Banda Aceh justru bisa tampil beda, otentik
dan punya cerita. Bangunan tua bukan lagi simbol masa lalu yang harus dilupakan. Mereka bisa jadi pelakon utama dalam narasi kota yang hidup, berkembang, dan tetap punya jati diri.
Bangunan tua bukan beban masa lalu. Ia adalah penanda perjalanan, saksi bisu
peristiwa, dan pengingat jati diri kota. Dengan adaptive reuse, Banda aceh punya peluang besar untuk menghadirkan bangunan tua belanda sebagai tempat wisata. Dibalik setiap tembok yang nyaris roboh, ada kisah yang bisa diangkat. Di balik jendela tua yang kusam, ada cahaya yang bisa dinyalakan kembali. Kalau kita bisa mendengar bisikan bangunan-bangunan itu, dan menjadikannya bagian dari hari ini, maka kota ini akan punya masa depan yang berakar kuat di sejarah dan tumbuh dengan cara yang Indah.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Arsitektur, Universitas Syiah Kuala
Editor : Didik Ardiansyah
Artikel Terkait